Jumat, 10 Juli 2009

IDE MENGENAI REINVENTING LAW DALAM MASYARAKAT DAN URGENSINYA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM DI DAERAH

I. Pendahuluan

Sifat yang legal sentralistik dan legal formalistik yang berlangsung lama di Indonesia telah menggerus eksistensi hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahkan ada kesan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) itu dibiarkan pupus. Fenomena dominasi hukum negara (state law) yang berlebihan terhadap hukum yang hidup di dalam masyarakat telah membuat rusaknya kultur hukum masyarakat yang sebenarnya memainkan peranan yang amat fundamental dalam memelihara ketertiban masyarakat itu sendiri.

Sifat hukum yang legal sentralistik dan formalistik itu telah menapikan peranan dari hukum yang hidup dalam masyarakat sedemikian rupa, karena hukum yang berkembang dan dikembangkan bercorak refresif ketimbang responsif.

Kondisi ini amat kontradiktif jika dibandingkan dengan sejarah berdirinya Republik ini, dimana para pelopor berdirinya negara ini (founding fathers) memulai pembangunan hukum dan sistem hukum dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hasilnya Pancasila sebagai grond norm adalah digali dari kebudayaan rakyat yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjadi jiwa bangsa.

Dalam konteks ini. R. Supomo salah seorang perumus Pancasila pernah menulis dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat sebagai berikut :

Keperluan untuk membina tata negara Indonesia berdasarkan kebangsaan, kemanusiaan atau internasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial (Presiden Soekarno : Pancasila, dalam Indonesian Reviews, Januari 1951), memberi tugas kepada para pemimpin nasional Indonesia untuk menemukan kembali (digaris bawahi oleh penulis) tradisi kebudayaan dan nilai-nilai yang berlaku pada organisasi masyarakat di lapangan rakyat jelata. (Supomo, 1982:23).

Dengan ungkapan ini secara gamblang beliau ingin menyatakan bahwa selama dijajah kita telah kehilangan tradisi kebudayaan dan nilai-nilai yang sebenarnya hidup dalam sanubari rakyat. Untuk itu beliau menekankan bahwa merupakan suatu tugas untuk menemukan kembali tradisi dan kebudayaan yang seakan hilang tersebut dalam rangka membentuk negara Indonesia. Dan memang hal ini telah pernah dicontohkan oleh para pendiri negara ini pada saat menemukan dan merumuskan Pancasila sebagai dasar negara.

Sekarang ada fenomena bahwa bangsa kita telah kembali kehilangan sentuhannya sebagai bangsa yang dibangun dan tumbuh dari semangat jiwa rakyat. Rakyat seakan menjadi asing di rumahnya sendiri. Untuk itu konsep Supomo tentang “menemukan kembali” hukum kita yang seakan hilang, menjadi relevan kembali diangkat dalam alam reformasi dewasa ini. Konsep tentang menemukan kembali” atau “Reinventing” (dalam bahasa Inggris) merupakan konsep yang akan kami ajukan dalam tulisan ini. Sejauh manakah relevansi, urgensi serta aktualisasi konsep ini dalam upaya pembangunan hukum di daerah ? akan kami coba bahas dalam bagian berikut.

II. Ide Mengenai Reinventing Hukum Dalam Masyarakat dan Urgensinya Dalam Pembangunan Hukum di Daerah

A. Ide Reinventing Hukum Dalam Masyarakat dan Urgensinya.

Roscoe Pound seorang pelopor sosiologi hukum dalam bukunya An Introduction To The Philosophy Of Law menyinggung bahwa hukum itu dapat ditemukan atau dapat pula diciptakan, selanjutnya ia menjelaskan :

Tetapi pada tingkat kematangan hukum, hukum dianggap sebagai sesuatu yang dapat mencukupkan keperluan sendiri, dan dinilai dengan suatu bentuk ideal dari hukum itu sendiri, dan sebagai sesuatu yang tidak dapat diciptakan, atau jika dapat diciptakan haruslah diciptakan dengan cermat (Roscoe Pound, 1989: 27).

Kutipan ini memberikan deskripsi kepada kita bahwa hukum itu ada karena ditemukan, tetapi juga diciptakan dengan suatu usaha yang cermat. Sehubungan dengan deskripsi tentang menemukan hukum itu, secara eksplisit mengandung pengertian bahwa hukum itu telah ada dan tumbuh dalam masyarakat, betapapun sederhananya masyarakat tersebut, ini telah dibuktikan oleh antropolog seperti Bronislaw Malinowski, Bohanan dan Pospisil dalam berbagai penelitian mereka. Hukum itu inclusif di dalam kebudayaan dan merupakan produk kebudayaan dan masyarakat “Clearly, law, in the long run, is a product of culture and society” (Friedman, 1975:142), menggerakan sistem pengendalian sosial, sehingga masyarakat yang bersangkutan tetap eksis dalam mempertahankan ketertibannya. Hukum yang oleh Ehrlich disebut sebagai the living law (Roger Cotterel, 1995:306) yang oleh Malinowski ditaati “oleh alasan-alasan psikologis dan sosial yang sangat kompleks bukan secara spontan” (1988 : 5). Bahkan mengenai hal ini Roland Graveson agak ekstrim dengan mengatakan :

We are driven to conclude that law is not merely an attribute of society but, in chemical terms, an element of it, it sense that without law there can be no society. Law is to society as fresh air or blood is to the human body. It has a basic quality of necessity in an absolute sense (Roland Graveson, 1964 : 134 ).

Tetapi hukum yang sedemikian vitalnya dalam masyarakat tersebut (dalam konteks the living law) dapat menjadi seakan tidak ada, apabila terjadi hubungan yang tidak seimbang antara penguasa atau negara dengan masyarakat. Ini terjadi di negara kita yang dideskripsikan sebagai berikut :

bahwa untuk kepentingan kelangsungan pembangunan ekonomi, Pemerintah Orde Baru memberikan prioritas yang sangat tinggi pada stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Kebijakan tersebut telah melahirkan sebuah pola hubungan kekuasaan negara dan masyarakat yang bersifat zero-sum dimana kekuatan negara sangat kuat sebaliknya masyarakat sipil sangat lemah (Marhaban Ibrahim,1999 : 3).

Ini menunjukan tentang hilangnya equilibrium dalam negara. Bahwa telah terjadi dominasi absolut dari negara terhadap masyarakat. Hilangnya equilibrium ini merupakan suatu kecenderungan karena sistem hukum itu memang tidak selalu statik seperti pendapat William J.Chambliss dan Roger B. Seidman yang disitir oleh Friedman bahwa “Legal system of course not static. They are constantly in motion, constanly changing. It necessery to look at social system in equilibrium, but in fact they are also exposed to ceaseless conflict and change” (Friedman,1975:269).

Kenyataan di Indonesia bahwa absolutisme itu telah dijalankan dalam waktu yang sangat lama, telah melumpuhkan kemandirian sistem-sistem legal order dan melahirkan apa yang disebut oleh Achmad Ali yang meminjam istilah Donald Black sebagai “Addiction to Law” atau Ketagihan Hukum ( Achmad Ali, 2000 : 31 ), suatu masa dimana segala sesuatu diserahkan kepada hukum negara untuk diselesaikan. Suatu masa dimana keadaan kebergantungan sosial yang berlebihan karena fower pressure membuat organ-organ sosial yang penting dalam mempertahankan ketertiban alamiah masyarakat menjadi lumpuh dan seakan-akan hilang.

Manakala muncul momentum dimana absolutisme negara itu mengendur dan wibawa hukum formal meluntur, maka masyarakat yang telah “addicted to law”, pada kenyataannya telah kehilangan kemampuan, kepekaan dan kearifannya serta menjadi bingung manakala diperhadapkan dengan perubahan politik yang memberi kemerdekaan atau ruang gerak kepada mereka untuk secara independen merawat ketertibannya sendiri. Hilangnya kepekaan dan kearifan masyarakat secara individu maupun komunal dapat menyebabkan goncangan sosial. Mekanisme-mekanisme sosial yang lumpuh tidak lagi bekerja sebagaimana seharusnya. Pengendalian sosial yang tidak bekerja memunculkan ketidak seimbangan sosial sehingga perilaku individu kurang dapat dikendalikan karena nilai-nilai sebagai stabiliser tidak bekerja. Kondisi ini diperparah lagi oleh faktor lain seperti ekonomi, idiologi dan stratifikasi sosial, maka pelanggaran hukum meningkat, maraknya tindakan anarki serta kejahatan massal, selanjutnya menjadikan hukum penguasa semakin tidak efektif.

Dalam keadaan seperti yang telah digambarkan diatas, maka sangat urgen kiranya memulihkan kembali fungsi mekanisme pengendalian sosial (legal order) ini kepada keadaan yang seimbang. Pemulihan ini salah satunya dapat dicapai dengan suatu gerakan untuk menemukan kembali hukum (reinventing law) dalam masyarakat. Disinilah letak urgensi dan relevansi ide reinventing ini dalam keadaan seperti sekarang ini.

B. Konsep Reinventing Law dan Konsep Rechtvinding / Lawfinding

Konsep reinventing law dan rechtsvinding atau lawfinding sepintas sama, yaitu suatu cara untuk menemukan hukum, namun sebenarnya berbeda.

Reinventing berarti tindakan untuk menemukan kembali sesuatu yang hilang atau ditinggalkan yang artinya umum sekali, sedangkan rechtsvinding jelas-jelas merupakan suatu istilah di bidang hukum. Ketika istilah reinventing ini dilekatkan pada konteks hukum sebagai “reiventing law”, maka maknanya hampir identik dengan rechtsvinding. Dimanakah perbedaan pengertiannya ?. Dalam hal ini Sudikno Mertokusumo menjelaskan tentang pengertian rechtsvinding :

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang kongkrit. Ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit. Sementara orang lebih senang menggunakan “pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada” (Sudikno Mertokusumo, 1999:147)

Dari penjelasan ini agak jelas kepada kita bahwa rectsvinding maknanya lebih condong kepada pengertian sebagai “pembentukan hukum” ketimbang penemuan hukum. Rechtsvinding lahir karena hukum yang mengatur subyek hukum tertentu “tidak ada”, akibat rumusan hukumnya yang tidak jelas, tertinggal perkembangan masyarakat atau bermakna jamak. Metode yang digunakan pun tertentu, yaitu metode interpretasi dan konstruksi.

Perbedaan yang lain antara reiventing law dan rechtsvinding adalah bahwa rechtsvinding atau lawfinding dalam konteks pembentukan hukum menurut AM. Bos yang disunting oleh Mukthie Fadjar adalah “menonjolkan peran legislator dan para hakim” ( A.M. Fadjar 2001 : 1,6), sedangkan reinventing law menonjolkan peran yang lebih luas, yakni masyarakat sendiri seperti lembaga perguruan tinggi, lembaga adat dan para tokoh masyarakat.

C. Reinventing Law Dalam Masyarakat Sebagai Salah Satu Upaya Bagi Pembangunan Hukum yang Responsif

Sebagaimana telah digambarkan diatas bahwa Reinventing Law adalah salah satu upaya dalam memulihkan kemandirian masyarakat dalam pengendalian sosial (legal order). Hal ini bermakna bahwa dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan serta pengambilan kebijakan haruslah berorientasi bottom up. Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan hukum (law making procces) harus lebih nyata, dengan melibatkan mereka secara langsung dan tidak langsung dalam proses pembuatan produk – produk hukum.

Secara tidak langsung artinya setiap pembuatan suatu produk hukum haruslah dengan terlebih dahulu mengobservasi fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan, kecenderungan serta keunikan masyarakat itu sendiri. Secara langsung artinya bahwa dalam proses pembuatan hukum itu masyarakat diberikan kesempatan untuk ikut berbicara dan menyampaikan aspirasinya mengenai rancangan suatu peraturan dalam suatu proses sosialisasi yang sungguh-sungguh.

Selain itu “Untuk memahami posisi dan kapasitas hukum dalam struktur masyarakat, maka pertama - tama harus difahami kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara utuh” (I Nyoman Nurjaya, 2002 : 16).

Pemahaman kehidupan sosial dan budaya masyarakat secara utuh akan dapat membantu para pihak yang terlibat dalam pembuatan suatu produk hukum untuk membuat suatu peraturan hukum yang benar-benar selaras dengan realitas masyarakat. Hukum yang demikian inilah yang disebut dengan hukum yang responsif yaitu “hukum yang responsif terhadap sistem hukum rakyat (indegenous law) sebagai cerminan dari nilai-nilai, prinsip-prinsip, norma-norma, institusi, dan tradisi yang hidup dalam masyarakat” (Nonet & Selznik 1978 ; I Nyoman N, 2002 : 15).

Proses – proses ini amat penting dalam rangka mengakomodasi jiwa dari hukum yang hidup ditengah masyarakat. Dalam hal ini Mukthie Fadjar menyebutkan bahwa “Hukum dipandang sebagai fasilitator respon atau sarana untuk menanggapi kebutuhan dan aspirasi sosial” (Mukthie Fadjar, 2001 ).

Namun demikian semua ini berpulang kepada negara baik pusat dan daerah, apakah mereka mau dan mampu untuk melakukan proses-proses seperti disebutkan diatas. Dengan adanya keinginan untuk menegakan demokrasi dalam alam reformasi ini diharapkan ada suatu perubahan paradigma dalam melihat hukum itu. Produk hukum harus dinilai sebagi suatu produk hukum yang demokratis pula, hal mana bermakna bahwa suatu produk hukum adalah dihasilkan oleh kesepakatan dari seluas-seluasnya partisipasi masyarakat melalui mekanisme formal yang ada. Dalam konteks ini Abdul Hakim G. Nusantara menyebutkan :

Dari sudut fersfektif sejarah maka sebagai hasil proses politik dalam masyarakat kita dapat melihat adanya dua model strategi pembangunan hukum yaitu : strategi pembangunan hukum ortodoks dan strategi pembangunan hukum responsif.---Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri-ciri adanya peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen dalam menentukan arah perkembangan hukum dalam masyarakat).--- Strategi pembangunan responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. (Abdul Hakim G. Nusantara, 1988 : 27,28)

Maka ketika azas desentralisasi dijalankan dewasa ini terdapat implikasi yang harus dijalankan oleh pemerintah pusat dalam bidang hukum, yaitu kewajiban untuk merespon dan mengakomodasi prinsip-prinsip hukum lokal dalam tatanan hukum nasional untuk mendukung otonomi daerah.

Karena itu, salah satu implikasi dari kemauan politik pemerintah untuk mengakui keanekaragaman daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah kewajiban untuk merespons dan mengakomodasi prinsip-prinsip hukum lokal ke dalam tatanan hukum nasional yang digunakan sebagai instrumen (legal instrumen) untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah.(I Nyoman N, 2002 : 1).

Bagaimanakah halnya dengan pemerintah di daerah ?, tentu harus diterapkan pola yang sama, bahkan menurut kami pemerintah daerahlah yang menjadi ujung tombak dalam penerapan strategi pembangunan hukum responsif ini, dengan melakukan reinventing law terhadap hukum diluar state law yang selama ini terabaikan oleh “Political Of Legal Pluralism Ignorance” (I Nyoman N, 2002 : 3). Pengabaian ke-khas-an daerah telah menyebabkan munculnya ketidakpuasan dan prustasi yang mendalam di kalangan masyarakat di daerah. Maka disinilah terlihat arti strategis reinventing law itu dalam upaya membangun hukum yang responsif.

D. Reinventing Hukum dan Aktualisasinya di Daerah

Reinventing pada dasarnya adalah suatu tindakan atau gerakan dari bangsa untuk memunculkan kembali tradisi kebudayaannya yang hilang atau terlupakan, termasuk hukum karena hukum itu inclusif di dalam kebudayaan itu sendiri.

Sebagai gerakan kebudayaan maka semua komponen bangsa bertanggung jawab atasnya. Sisi gelap dari zaman orde baru yang mengedepankan keseragaman dalam berbagai segi kehidupan termasuk hukum, harus dirubah paradigmanya kepada penghargaan terhadap pluralitas budaya dalam misi membangun ketahanan sosial yang betul-betul tumbuh dari bawah. Ketahanan sosial yang dibangun secara top down membuat ketahanan sosial itu bersifat semu. Demikian juga hukum yang tidak responsif tapi refresif akan melahirkan kesadaran hukum yang semu, karena itu sangatlah urgen kiranya untuk mengembalikan partisipasi rakyat dalam kehidupan sosial kepada tempat yang semula. Merangsang tumbuhnya kesadaran dan kemandirian tiap masyarakat untuk memelihara ketertibannya dengan hukum dan mekanisme yang ada pada mereka sendiri.

Dalam konteks ini relevan kiranya ide reinventing law itu diaktualisasikan, yaitu menemukan dan membangun kembali hukum di luar state law yaitu reinventing folk law, indigenous law, customary law dan adat law serta self – regulation atau inner-order mechanism dalam rangka pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat (I Nyoman Nurjaya,2000 : 4).

Pemerintah dalam hal ini adalah sebagai motivator bagi gerakan ini. Pemerintah harus mulai merasionalisasi (meminimalisir) perannya di dalam hukum dengan melakukan enfowering masyarakat, dan lebih mulai memberikan kepercayaan kepada masyarakat (delegalisasi) untuk secara mandiri memelihara ketertibannya sendiri. Kesadaran masyarakat terhadap hukum dirangsang untuk tumbuh di dalam diri tiap individu, sehingga ketahanan sosial itu betul-betul mengakar dari dalam diri masyarakat sendiri tidak bersifat top down.

Dalam era otonomi daerah satu hal lagi yang sangat mendasar yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan merecoqnitie dan bila perlu mengakomodasi hukum-hukum adat masyarakat. Dalam kurun waktu yang telah lalu hukum adat seolah tidak dinggap ada oleh politik hukum yang sentralistik. Dengan tumbuhnya iklim demokratisasi dewasa ini, maka peran masyarakat adat di daerah juga harus diakui. Pemerintah pusat dan juga di daerah harus mulai melepaskan perannya yang dominan dalam bidang hukum dan melakukan enfowering masyarakat diantaranya masyarakat hukum adat.

Recoqnitie terhadap hukum adat tidak harus selalu memformalkan hukum yang hidup di masyarakat tersebut, bila ini dilakukan maka fleksibilitas hukum adat malah menjadi hilang. Recoqnitie disini dalam rangka enfowering hukum adat tersebut, sehingga dapat menjadi alat yang efektif dalam memecahkan masalah-masalah sosial di masyarakat.

Tetapi dalam segi-segi tertentu memang perlu diadakan akomodasi terhadap hukum adat itu, terutama bagian hukum adat yang potensial dalam membantu institusi formal melaksanakan dan menjalankan hukum. Sebagai contoh di Kalimantan Tengah dengan wilayah yang sangat luas, menyulitkan bagi diadakannya pelayanan hukum secara merata sampai ke pedalaman. Untuk memecahkannya, maka pranata-pranata hukum adat dapat dijadikan instrumen bagi pemerintah dalam melayani masalah-masalah hukum di masyarakat pedalaman, misalnya dengan memberdayakan lembaga kedemangan, dan menguatkan fungsinya dengan mengeluarkan Perda tentang Kedemangan hal mana telah dilaksanakan di Kabupaten Kapuas.

Berdasarkan pemikiran diatas maka upaya reinventing law itu dalam bentuk kongkritnya adalah :

1. Enfowering yaitu memberdayakan kembali hukum di luar state law seperti hukum adat atau bentuk-bentuk hukum yang lain. Penguatan pranata-pranata sosial masyarakat melalui pemberdayaan kembali lembaga-lembaga adat dalam masyarakat untuk ikut memelihara ketertiban, sebagai misal di Kal-Teng dikenal lembaga Adat Kedemangan, yang dijalankan berdasarkan hukum adat harus lebih diberdayakan, terutama di daerah pedalaman yang jauh dari aparat penegak hukum.

2. Dokumentasi dan inventarisasi hukum adat dengan melakukan penelitian yang oleh Llewellyn & Hoebel yang dikutip oleh I Nyoman Nurjaya dilakukan dengan cara menginvestigasi norma-norma abstrak yang dapat direkam dari ingatan-ingatan para kepala adat, tokoh masyarakat, atau pemegang otoritas yang diberi wewenang membuat keputusan-keputusan hukum (ideological method) (I Nyoman N, 2002:6).

Akhirnya dengan upaya ini diharapkan sifat legal sentralistik dan legal formalistik dapat dirubah menuju kepada paradigma hukum yang baru dimana kesadaran dan kepatuhan hukum benar-benar nampak di dalam kebudayaan masyarakat di seluruh Indonesia. Sehubungan dengan hal ini satu dari Proklamator kita Bung Hatta dalam pidatonya berjudul “Menuju Negara Hukum” pernah berkata :

Berdasarkan Pancasila, yang harus dihidupkan senantiasa dalam jiwa, dan UUD 1945, angkatan muda sekarang hendaklah berusaha segiat-giatnya, supaya negara hukum yang sempurna tercapai. Negara hukum – kata Hans Kelsen dalam buku pelajarannya “Algemeine Staatslehre” akan lahir, apabila sudah dekat sekali “Identitet der Staatssordnung mit der Rechtsordnung” – Identitas susunan negara dengan susunan hukum, semakin bertambah keinsyafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna (M. Hatta, 1977 : 16).

Hal yang dikatakan beliau tersebut akan dapat tercapai, apabila kita melakukan apa yang dikatakan oleh R.Supomo “Menemukan kembali tradisi kebudayaan dan pula nilai-nilai yang berlaku pada organisasi masyarakat di lapangan rakyat jelata”.

III. K e s i m p u l a n

Dapatlah disimpulkan bahwa ide reinventing law relevan dan urgen dilaksanakan, sebagai salah satu upaya pembangunan hukum di daerah, yaitu dengan upaya enfowering, dokumentasi dan inventarisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, diantaranya hukum adat di daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad (2000), “Dari Formal – Legalistik ke Delegalisasi” dalam Wajah Hukum di Era Reformasi Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof.Dr. Satjipto Rahardjo,SH, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,Bandung.

Bos, AM alih bahasa oleh A. Mukthie Fadjar (2001), Kumpulan Kuliah Pada Rijkuniversiteit te Groningen “Methods for the Formation on Legal Concepts and for Legal Research”

Cotterel, Roger (1995), Laws Community Legal Theory in Sociological Perspective, Clarendon Press, Oxford.

Fadjar, Mukthie (2001), Bahan Bacaan dan Diskusi Teori Hukum, Malang.

Friedman, Lawrence M (1975), The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York.

Graveson, Ronald (1964 ), “The Hose Of Law“dalam Roscoe Pound, Erwin N. Grinswold and Arthur E. Shuterland (Eds) Perspectives of Law Essays for Austin Wakeman Scott, Little, Brown And Company, Boston.Toronto.

Hatta, Mohammad (1977), Menuju Negara Hukum, Idayu Press, Jakarta.

Ibrahim, Marhaban (1999), Reinventing Government (Rego) Dalam Perspektif Reformasi dan Pengembangan Action Plan Rego, Badan Diklat Depdagri, Jakarta.

Malinowski, Bronislaw Terj. R.G. Soekadijo (1988), Crime and Custom In Savage Society / Tertib Hukum dalam Masyarakat Terasing, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno (1999), Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yoyakarta.

Nurjaya, I Nyoman (2002), - Reorientasi Tujuan dan Peranan Hukum Dalam Masyarakat Multikultural : Perspektif Antropologi Hukum, Makalah dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi ke-2, Malang.

Nurjaya, I Nyoman (2002), - Menuju Tata Hukum Daerah Yang Berbasis Kearifan Lokal : Perspektif Otonomi Daerah, Makalah dalam Seminar Nasional Peningkatan Pembangunan Regional di Era Otonomi Daerah, Malang.

Nusantara, Abdul Hakim G. (1988), Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBHI, Jakarta.

Roscoe Pound Terj. Mohamad Rajab (1989), An Intoduction To The Philosophy Of Law / Pengantar Filsafat Hukum, Penerbit Bharata, Jakarta.

Soepomo (1982), Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.